Senin, 27 Februari 2017

JADI BACKPACKER ITU (HARUS MAU) REPOT



Saya mulai menyenangi dunia traveling sejak tahun 2010 silam. Kesenangan saya bukan hanya pada saat perginya saja, tapi sejak awal mempersiapkan segala sesuatunya untuk trip, mulai dari hunting tiket, browsing, riset, booking penginapan dan sebagainya. Dari situlah saya juga jadi bisa bikin itinerary yang detil, mulai dari hari dan tanggal, aktivitas di hari itu mau ngapain aja, bagaimana caranya (misal, untuk menuju ke sebuah obyek wisata naik apa? Bus nomor berapa? Ancer-ancernya dsb), biaya (baik dalam rupiah maupun mata uang asing kalau tripnya ke luar negeri), total biaya, catatan-catatan khusus dsb. Njelimet? Yes! Kadang bisa rombak itinerary sampai beberapa kali sampai benar-benar pas. Memang tidak mudah mempersiapkan trip sendiri, perlu waktu dan ketekunan untuk melakukan hal itu semua. Kebetulan juga, saya memang merasa agak kurang bebas kalau harus mengikuti trip lewat tour and travel, disamping  juga kondisi finansial yang terbatas, jadi sebisa mungkin dilakukan sendiri deh hehehe...

Gara-gara hobi saya di atas, itinerary saya pernah laku diminta sana-sini, mulai dari saudara, teman, temannya teman, saudaranya teman... saya sih senang-senang aja dan pasti saya kasih deh, tanpa embel-embel apapun hehehe... Pernah juga beberapa kali saya dimintain tolong oleh salah satu sahabat saya untuk mencarikan tiket untuk mamanya, plus booking penginapan dan itinerary-nya, sampai akrab banget sama mamanya lewat telp (beberapa tahun kemudian baru bertemu langsung) dan dikirimin oleh-oleh coklat lewat anaknya. Atau dulu jaman saya masih ngantor, setiap divisi kami berencana mau pergi kemana, pasti saya langsung mengajukan diri ikutan rempong, atau tiba-tiba dipanggil Pak Bos ke ruangan, dimintain tolong cariin tiket untuk saudaranya hahaha...

Dari situ pula, saya pernah beberapa kali pengen banget traveling ke suatu tempat trus teman-teman pada ikut, nggak cuma 1 atau 2 teman, tapi sampai 5-6 orang sekaligus hahaha, jadi kayak bawa rombongan, dan semuanya saya yang urus, mulai dari bikin itinerary dan budgetnya, cari tiket pesawat, booking penginapan, sampai cari sewaan kapal dan rental mobil.

Suka Duka Trip Bareng

Nah, saya pengen banget deh cerita soal trip bareng. Saya nggak tahu ya, kalau teman-teman traveler atau backpacker lain melakukan trip bareng itu bagaimana?. Apakah mempersiapkan tripnya bareng-bareng atau urus masing-masing, pas jalan-jalannya saja yang bareng?

Pengalaman saya bikin trip bareng adalah saya semuanya yang urus. Oya, selalu ya setiap saya bikin trip bareng adalah, saya berusaha mengakomodir semua keinginan teman-teman, selama itu memungkinkan, misal, ada teman yang pengen mlipir ke pulau mana, selama masih memungkinkan pasti saya masukkan ke itinerary. Enak kan ngetrip sama saya? Hehehe... Jangan pula dikira, rempongnya hanya di awal. Selama trip saya selalu jadi bendahara dan bertanggungjawab atas kelancaran trip (halaaaaahhh), misal, tiba-tiba di sana perlu sewa mobil untuk bawa rombongan dari hotel ke dermaga, karena nggak mungkin naik angkot, ya saya yang akan cari sewaan mobil dan nego. FYI ya, dengan segala kerepotan tersebut saya tidak pernah meminta fee/bayaran apapun, semuanya saya lakukan karena saya memang senang melakukannya, tapi dari sinilah saya bisa tahu, ada teman yang berbaik hati mau membantu (misalnya, beli tiket untuk dirinya sendiri) dan ada pula yang semuanya pasrah sama saya (mereka tinggal transfer, saya yang beliin tiketnya, booking kamar penginapan untuk mereka dsb). Yang terakhir ini istilah Jawanya “pasrah bongkokan”, jadi cuma tinggal tenteng koper dan cuzzz... berangkat.
Saya juga pernah punya pengalaman nggak enak lho hehehe, tanpa bermaksud untuk menyinggung siapapun, nggak apa-apa ya saya tulis, mungkin bisa dijadikan hikmah untuk trip selanjutnya. Jadi, memang benar kalau ada yang bilang bahwa orang itu kelihatan watak aslinya saat traveling, karena traveling itu bukan melulu hanya senang-senang isinya, tapi pasti lelah juga, nah pas capek ini datang, emosipun sering tidak terkontrol. Makanya, ada seorang travel writer Indonesia yang kondang bilang, cari partner trip yang cocok sama kita itu penting banget, apalagi kalau kita niatnya backpacking. Saya percaya itu deh. Jadi, selama trip bareng, saya pernah mengalami ada salah satu teman yang nggak cocok sama teman lainnya (karena belum tentu mereka kenal satu sama lain sebelum ikut trip bareng), trus ngedumelnya ke saya. Kalau saya masih bisa bilangin baik-baik sih nggak apa-apa, tapi pernah juga saya yang trus kena semprot jadi sasaran, ya saya jadi emosi juga dan di situlah saya merasa sedih, saya sudah rempong sendirian, kok masih diginiin hehehe... Tapi , saya nggak mau hal-hal nggak enak itu berlangsung lama, kalau sudah ya sudah, biasanya kalau sudah istirahat, semuanya baik lagi hehehe... Masalah budget juga begitu, jadi pernah karena suatu hal pas sudah jalan-jalan ada biaya yang jadi membengkak, akhirnya terpaksa nombok, untungnya ada beberapa teman yang mengerti mau patungan nombokin (ada juga yang pura-pura nggak ngerti/nggak mau tahu, pokoknya udah transfer sejumlah budget awal, ya sudah, resiko tanggung sendiri, walaupun ikut menikmati hehe...) J.
Jadi (Setengah) Professional
Dari pengalaman-pengalaman di atas tadi, Ibu saya pernah bilang gini : “Kamu itu kalau memang suka (bikin trip bareng) mbok diseriusin, cari partner, jadi professional... “. Alhasil, pernah lho saya jadi personal guide setengah professional (setengah karena saya masih belajar dan lumayan dibayarin, walaupun nggak semua).  Kliennya? Teman saya juga sih hahaha... Jadi, mereka minta saya menemani sekaligus mengurus segala keperluan trip, mulai A sampai Z. Saya sih asyik-asyik aja, itinerary saya bikin sesuai kemauan mereka, saya cariin penginapan yang unik dan bagus, bahkan saya carikan tiket sesuai maskapai yang mereka mau, disesuaikan dengan budget mereka. Berhubung kliennya untuk masing-masing trip hanya satu orang hahaha, tentu saja saya nggak tega kalau mereka harus bayarin saya full (apalagi sampai minta minta fee, nggaklah...), saya sudah cukup senang bisa jalan-jalan, sebagian tiket dibayarin, nginapnya nebeng sama mereka. Makasih yaaaa... J. Dan walaupun teman sendiri, saya juga nggak seenaknya sendiri lho, saya berusaha treat mereka sebaik mungkin, mereka tinggal bawa badan dan baju aja, cuzzz berangkat. Selama di sana, biar ada pengalaman yang berbeda (sesuai dengan apa yang mereka mau juga), saya ajak mereka naik transportasi umum, makan di tempat yang terkenal enak (sampai klien minta 2 kali makan di situ), dan saya nggak keberatan menemani klien berburu sebuah barang di pasar tradisional.
(Jadi) Backpacker Harus Mau Repot
Seiring dengan waktu (dan umur hahaha), banyak aktivitas yang harus dikerjakan dan banyak hal yang harus dipikirkan (halah), untuk mengurus trip secara mandiri seperti ini perlu effort lebih dengan mencuri-curi waktu yang ada, istilahnya harus disempet-sempetin. Saya masih pengen traveling ke banyak tempat, pengen keliling dunia (Amiiiinnn). Saya juga pengen bisa jalan-jalan bareng teman-teman saya, namun berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya, saya nggak mau rempong sendirian deh. Seandainya saya bisa bikin trip bareng lagi, saya pengen bisa diurus bareng-bareng (walaupun porsi rempong saya yang terbesar tidak mengapa), karena lama-lama jadi mikir juga, senang-senangnya bareng-bareng kok rempongnya sendirian hahaha... Jadi, wajar kalau ikut trip lewat agen perjalanan selalu lebih mahal, karena effort untuk mempersiapkan trip itu juga tidak gampang, kadang stres juga. Saya punya teman owner salah satu agen perjalanan, pernah main ke kantornya untuk tanya-tanya soal tiket, pas saya datang dia lagi repot-repotnya, jadi kami mengobrol sambil sesekali dia telpon sana-sini, berhenti ngobrol bentar supaya dia bisa chating dan terus bilang “Aku stres nih, visa klien belum keluar-keluar juga....”. Nah, lho, makanya jangan dipikir itu sebuah kerjaan yang gampang dan bebas stres hanya karena urusannya jalan-jalan (senang-senang), kan yang senang yang jalan-jalan, yang mempersiapkan segalanya yang repot. Belum kalau ada klien yang rewel... duuuuuhhh. Ibarat gini, agen perjalanan itu walaupun dibayar juga pasti kesal kalau menghadapi klien yang rewel (apalagi saya yang nggak minta bayaran apapun hehe...). Intinya gini deh, mau jadi traveler seperti apa? Kalau nggak mau repot (sama sekali), ya pakai jasa agen perjalanan, tapi kalau pengen backpacking (demi bisa menghemat biaya), ya harus mau repot juga... J

Jumat, 29 Januari 2016

RINDU AMPHAWA (Part 1)

Bagi para traveler, tentunya Bangkok sudah tak asing lagi. Di sana kita bisa menikmati banyak hal, mulai dari patung-patung Budha raksasa, keunikan bangunan Wat, makanan khas Thailand yang menggoda selera (termasuk street foodnya), surga belanja yang menyenangkan, hiburan malam, serta banyak hal menarik lainnya yang sangat memanjakan wisatawan. Bangkok sangat hidup, siang malam selalu riuh rendah dengan wisatawan.

Namun, siapa sangka saya dan teman seperjalanan justru menemukan sepotong surga yang tenang dan selalu membuat rindu yaitu Amphawa yang berada di Samut Songkhram, tak jauh dari Bangkok. Tulisan ini akan menceritakan mengenai perjalanan kami ke Amphawa yang pertama pada bulan Desember 2011 dan yang kedua bulan Mei tahun 2015.

DESEMBER 2011 : AMPHAWA, AKU JATUH CINTA

Bulan Desember 2011 adalah pertama kalinya saya dan Ocha, teman seperjalanan saya, ke Thailand. Semua kami atur sendiri, mulai dari booking ticket, hotel, termasuk saya yang saat itu bertugas membuat itinerary. Dari buku perjalanan ke Thailand tulisan Ariyanto (thanks Mas Ariy!), saya mengetahui bahwa di dekat Bangkok terdapat 2 pasar apung atau floating market, yaitu Damnoen Saduak dan Amphawa. Entah mengapa saya lebih tertarik dengan Amphawa. Saya masukkan ke itinerary dan saya tunjukkan ke Ocha. Ocha yang saat itu sedang ribet dengan urusan kantornya langsung setuju hehehe...

Hari ke 3 di Bangkok, setelah sarapan di hotel kami langsung cabut. Sebenarnya di itinerary, saya sudah menuliskan secara detil bagaimana cara menuju Amphawa dari hotel kami di kawasan Khaosan Road, termasuk nomor bus yang harus dinaiki, tapi saat itu justru malah kami muter-muter kota dulu naik bus kota, sampai nyasar-nyasar segala hahaha (tapi malah bisa menemukan Standing Buddha yang tidak ada dalam itinerary!). 

Hari sudah siang saat kami sepakat mau ke Amphawa. Setelah tanya sana sini (dan nyasar) yang saya ingat kami ditunjukkan sebuah agen minibus jurusan Amphawa. Minibus saat itu penuh, tapi untungnya saya dan Ocha masih kebagian tempat duduk. Yang bikin deg-degan justru saat perjalanan, sopirnya ngebut gila-gilaan kayak kejar-kejaran sama setan hehehe... Yang jelas, setelah itu kami berdua seperti orang buta. Entah kami diturunkan di mana, yang jelas kami ternyata masih belum sampai Amphawa hahaha... Setelah tanya sana-sini, kami harus naik lagi sebuah bus kecil, kayak angkutan antar kecamatan gitu kalau di Indonesia, setelah perjalanan yang tidak terlalu lama, kami diturunkan lagi dan untunglah, kali ini benar-benar di Amphawa... horeeee sampai juga akhirnya!!!. Total perjalanan ala Si Buta Dari Gua Hantu ini dari Bangkok ke Amphawa sekitar 2 jam deh.



Selamat datang di Amphawa... :)

Hari sudah menjelang sore saat kami tiba di Amphawa. Kami disambut para pedagang yang sudah membuka lapaknya untuk pasar malam. Paling banyak memang penjual makanan dan minuman, serta buah. Semuanya tampak menggiurkan, warna-warni menggugah selera. Sambil melihat kanan-kiri, saya dan Ocha berjalan menuju sungai, tak sabar melihat floating market. Kami  menyusuri tepian sungai dan melihat-lihat kios-kios yang ada di situ. Setelah puas lihat-lihat kami jadi pengen mencoba makanan yang dijajakan Ibu-Ibu di atas perahu. Saya sendiri nyobain semacam sup dan kerang. Oya, bagi yang muslim, hati-hati kalau mau makan. Pastikan dulu ke penjualnya apakah makanan yang mereka jual halal atau tidak. Sup saya ditukar jadi sup ayam saat Ocha memastikan apakah dagingnya halal hehehe...

Wine Cooler produksi lokal, ada yang red dan white, harganya murah banget hanya 30 Baht tapi enak juga... hehehe...



Menggoda banget yaaa???... :D

Salah satu kios penjual kue kering di Amphawa
Lihat ini jadi pengen nyobain... Harganya murmer, cuma 10 Baht!


Seru lihat mereka masak di atas perahu...
Ocha lagi laper banget kayaknya... hahaha...
Nyobain kerang ala Amphawa... :)

Habis makan, saya dan Ocha pengen nyobain naik perahu menyusuri sungai untuk melihat kunang-kunang. Tiketnya per orang 60 Baht seingat saya. Saya sendiri rada ndeso, belum pernah lihat kunang-kunang sebelumnya, jadi excited banget hahaha... Kami menyusuri sungai selama kurang lebih setengah jam. Setiap melewati pepohonan di tepi sungai yang dikerumuni kunang-kunang, mesin perahu akan dimatikan dan perahu mendekat ke tepian. Saya paling suka momen ini. Apalagi pada saat perahu melewati penginapan-penginapan dan kafe-kafe yang terletak di tepi sungai, lampu-lampunya membuat suasana jadi romantis hahaha (tapi melirik ke samping, lha kok sama Ocha hahaha, sorry Cha!), saya jadi bertekad pengen balik ke sana lagi kapan-kapan, syukur-syukur bisa nginap di penginapan yang ada di tepi sungai itu hehehe...

Amphawa Floating Market menjelang malam

Sepi turis saat itu (terutama bule), hanya ada orang lokal...



Di atas perahu, siap nonton kunang-kunang... :D
Saat perahu mulai melaju...
Menyusuri sungai di malam hari. Percayalah ini aslinya terasa romantis, hanya sayang karena keterbatasan gadget yang dipergunakan saat itu, jadi kurang meyakinkan  di foto hahaha...
Saat akhirnya turun dari perahu, suasana sudah mulai sepi, para penjual di atas perahu sudah pada pulang rupanya, menyisakan perahu-perahu kosong yang ditambatkan dan sebagian penjual yang ada di area pasar malam saja. Saya dan Ocha buru-buru ke jalan tempat kami turun dari bus tadi, tapi ternyata tadaaaaaaaaaa... kami diberitahu kalau minibus terakhir menuju Bangkok sudah tidak ada hahahaha... Gimana nih?. Saat itu sudah sekitar pukul 8 malam, saya dan Ocha masih bertahan di situ, berharap masih ada bus kecil atau minibus atau apapun yang menuju Bangkok. Kebetulan di depan kami ada beberapa tuk-tuk, sopirnya meneriaki kami yang kira-kira kayak gini; "Mobil ke Bangkok udah nggak ada lagi Neng, naik tuk-tuk aja...". Para sopir tuk-tuk menawarkan untuk nganterin sampai ke suatu tempat yang dilewati bus antar kota menuju Bangkok. Tapi demi melihat tulisan di tembok hotel kami di Bangkok yaitu "Beware of Tuk-Tuk", makanya kami tetap bertahan. Tapi kemudian, banyak Ibu-Ibu dan Mbak-Mbak orang lokal yang naik tuk-tuk yang meneriaki kami hal yang sama, akhirnya saya dan Ocha menyerah. Setelah tawar-menawar dengan sopir tuk-tuk, akhirnya kami naik juga. Sama seperti sopir minibus, sopir tuk-tuk inipun kejar-kejaran sama setan hehehe... Dan ajaibnya kemudian, kami diturunkan di jalan di bawah fly over, terus dia menghentikan bus besar yang menuju Bangkok. Ah, makasih banyak ya, Bang! :D

Abang-abang tuk-tuk yang berjasa (sayang mukanya gelap)... :D
Bus yang kami naiki menuju Bangkok akhirnya berhenti di sebuah terminal di pinggiran Bangkok. Saya lupa berapa persis harga tiket busnya, tapi seingat saya jauh lebih mahal daripada tiket minibus, tapi daripada nggak bisa pulang, ya kan? hehehe... Dari terminal kami naik bus kota kembali menuju Khaosan Road... ah lega rasanya, bisa ketemu lagi sama bantal hotel... :)

TO BE CONTINUED...

Tips :
1. Amphawa Floating Market hanya ada saat weekend (Jumat-Minggu). Lebih baik kalau waktunya cukup menginap saja di Amphawa, karena transportasi untuk kembali ke Bangkok kalau sudah malam agak sulit (seperti pengalaman kami).
2. Jangan takut untuk naik tuk-tuk, tapi lakukan dulu tawar menawar dan pastikan tarif yang telah disepakati.

* Hanya menemukan 1 foto Ocha pas di Amphawa yang ada di file saya, karena kami saling memotret menggunakan HP dan kamera digital masing-masing, jadi saya tambahkan foto Ocha yang ini deh hehehe...

Ocha, salah satu travel mate saya yang paling oke... :)


Senin, 02 Maret 2015

Ferry Lombok - Bali : Sewa Kamar (Terduga) Nakhoda dan Perjuangan di Toilet!

Perjalanan ke Lombok dan Bali bersama 2 orang teman saya ini sebenarnya sudah lama sekali, pada bulan Maret 2012, tapi karena ada beberapa kenangan lucu yang tak terlupakan, jadinya pengen ditulis deh... :)

Jadi setelah menghabiskan masing-masing satu malam di Lombok dan Gili Trawangan, kami bermaksud menyeberang dengan Ferry ke Bali. Penyeberangan berlangsung selama 4 jam dari Pelabuhan Lembar Lombok ke Pelabuhan Padang Bai di Bali. Di perjalanan menuju Pelabuhan Lembar, sopir mobil sewaan kami memberi informasi bahwa biasanya ada kamar milik kru kapal yang disewakan kepada penumpang. Saya tanya berapa tarifnya, katanya sekitar Rp. 20.000,-/penumpang. Katanya pula daripada berebutan kursi dengan penumpang lain mendingan sewa kamar aja hehehe... Baiklaaaahhh...

Hera, Eva dan saya hehehe... Narsis dikit boleh yaaaa... :D

Sebelum masuk kapal, eh ada yang jual nasi bungkus. Karena khawatir kelaparan, jadilah kami beli, lumayanlah buat isi perut biar nggak masuk angin, walaupun lauk dan rasanya seadanya hehehe... Oya, harga tiket Ferry-nya sendiri seingat saya murah banget, kalau tidak salah saat itu hanya sekitar Rp. 30.000,-/orang. Dan benar donk, kami langsung mencari informasi apakah ada kamar kru yang bisa disewa dan ternyata ada! Kami ditunjukkan sebuah kamar. Selanjutnya terjadilah negosiasi. Sang kru kapal meminta Rp. 100.000,-. Karena kami taat pada "instruksi" sopir mobil sewaan, maka kami menawar Rp. 60.000,- dengan asumsi Rp. 20.000,- x 3 orang. Kami keukeuh banget dengan harga tersebut dan yang saya ingat selanjutnya adalah, walaupun akhirnya kami mendapatkan kamar tersebut tapi sebelumnya salah satu kru kapal ngomong : "Cantik-cantik kok pelit!" bwahahahaha... Biarin deh, mending cantik tapi pelit daripada nggak cantik tapi tetap pelit hihihi... *Just kidding*... :D

Daaaannn... ternyata kamarnya lumayan rapi dan bersih lho, walaupun kami nggak yakin seprainya sudah diganti, tapi bodo amat deh, yang penting kami bisa berbaring dengan nyaman hehehe... Di kamar tersebut ada "fasilitas" TV, DVD player, kipas angin dan beberapa tabloid. Dari seragam dan topi yang digantung di dalam kamar, kami menduga-duga, mungkin kamar tersebut adalah milik Nakhoda kapal. Di dekat kamar kami ada sebuah ruangan yang ramai banget, tampaknya para kru dan nakhoda berkumpul di situ, mungkin juga di situ ruang kemudi, jadi begitu masuk kamar, kami langsung mengunci pintunya, rada parno juga sih sebenarnya hehehe...

Kamar (terduga) Nakhoda!

Sejumlah "fasilitas" kamar, si Eva tampaknya sudah lelah... :D

 


Sama Hera iseng foto di dekat seragam yang kami duga milik Nakhoda kapal hehehe...

Sekitar pukul 18.00 WITA kapal akhirnya berangkat. Tak lama kemudian, bukannya di kamar, kami justru ke geladak, menikmati pemandangan lautan dan biasa... foto-foto hehehe. Kami juga ngobrol-ngobrol dengan penumpang yang lain. Karena mulai gelap dan gerimis, kami buru-buru masuk kamar lagi deh.

Difotoin salah satu penumpang lain, thanks Mas Wolter! :)

Dari 4 jam perjalanan, saya sendiri hanya "bertahan" setengahnya. 2 jam terakhir saya mual luar biasa karena ombak. Jadilah saya cuma berbaring dan merem, berusaha tidur. Tapi sedang parah-parahnya begitu, tiba-tiba perut mules donk, pengen ke belakang. Akhirnya dengan terhuyung-huyung, saya ke toilet. Sudah mual, pusing, masih harus menyeimbangkan diri jongkok di atas kakus kapal yang sedang diterjang ombak itu rasanya sungguh luar biasa hahahahaha... Kalau ada yang pernah/sering merasakan susahnya buang air di toilet kereta api yang sedang berjalan, percaya deh, itu belum seberapa hahahahaha... Untungnya, setelah "berjuang" di toilet, saya bisa tertidur. Saya bangun menjelang kapal merapat di dermaga Pelabuhan Padang Bai, Bali, menjelang pukul 10 malam.

Akhirnyaaaa, sampai juga kami di Bali, dadah kapal!. Walaupun sempat cemas, karena ternyata di Pelabuhan ada pemeriksaan dan Eva lupa bawa KTP (sumpah, baru tahu pas di Bali kalau dia nggak bawa KTP hahahaha, entah dengan kartu identitas apa dia check in dalam penerbangan Jakarta-Lombok, SIM mungkin hehehe...), tapi Eva berhasil memenangkan perdebatan dan lolos. Hidup Eva! Mobil sewaan yang akan membawa kami ke Denpasar sudah menunggu dan terbayang nyamannya kasur hotel. Selamat datang di Bali... :)








Rabu, 04 Februari 2015

Antara Euforia dan Kecemasan... (Sebuah Perjuangan Untuk Bertemu Si Komo - Khusus Perempuan!)



Perjalanan saya menuju Labuan Bajo (dan tentu saja Pulau Komodo) adalah salah satu perjalanan impian saya, destinasi ini sudah ada dalam bucket list saya setidaknya 3 tahun sebelumnya. Dan yang lebih asyik adalah, saat memutuskan bahwa saya akan pergi bulan Agustus 2014 lalu, saya juga berhasil mengajak 6 orang sahabat saya yang semuanya cewek untuk ikut pergi ke sana hehehe... Horreeee... 
Labuan Bajo, salah satu destinasi impian...

Sebelum membeli tiket beberapa bulan sebelumnya, selain sibuk memantau (harga) tiket, mencari hotel, sewa mobil dan kapal, saya juga menghitung perkiraan tanggal menstruasi. Pasalnya, seperti kita tahu, Komodo sangat peka sekali dengan bau darah. Saya nggak mau donk, sudah beli tiket mahal-mahal tapi saya tidak bisa melihat Komodo atau dikejar-kejar sama mereka... Selain itu, saya juga menanyakan jadwal menstruasi teman-teman saya (dan pusing juga karena beda-beda semua)... :D

Berdasarkan perhitungan dengan mengamati siklus sebelumnya dan kesepakatan dengan teman-teman, akhirnya diputuskan untuk pergi pada tanggal 21-25 Agustus 2014 dengan itinerary sebagai berikut :
Jakarta/Bandung (1 orang teman dari Bandung) – Bali 1 malam – Labuan Bajo 2 malam – Bali 1 malam – Jakarta/Bandung.
Kenapa harus ke Bali? Karena semua penerbangan ke Labuan Bajo dari Denpasar, kalaupun ada yang langsung dari Jakarta tetap transit di Denpasar.
Akhirnya sampai sini... :)

Namun, manusia boleh berhitung, Tuhan yang menentukan. Setelah tiket dibeli, ternyata periode saya kacau balau, tidak sesuai perhitungan. Yang seharusnya saat berangkat periode saya sudah selesai, ini malah belum datang sama sekali. Beberapa hari sebelum berangkat saya mulai panik, sibuk browsing sana-sini. Atas saran dari seorang teman, saya akhirnya memiliki solusi : minum obat penunda haid. Obat ini biasa diminum wanita yang akan berangkat Umrah/Haji. Konon, perempuan di Arab sana kalau Ramadhan juga minum obat ini, supaya bisa puasa full satu bulan. Selain itu, dari beberapa blog saya juga mendapatkan solusi lain. Pahit-pahitnya saya ke Pulau Komodo dan Rinca (Komodo ada di dua pulau tersebut) pas saya lagi dapat, saya bisa melakukan 2 hal ini :

  1. Saya harus bertanya dulu sama Ranger (pemandu) di sana, apakah saya boleh ikut atau tidak. Kalau tidak boleh ya saya pasrah menunggu di pintu masuk atau di kapal (hiks...), kalau diijinkan ya saya harus terus berada dekat-dekat Ranger (mesra gitu hehehe...)
  2. Kalau (amit-amit) sampai dikejar Komodo, saya harus lari secara zig-zig karena Komodo akan susah mengikuti. Tapi saya tidak yakin dengan cara ini, iya kalau Komodo yang ngejar satu, kalau lebih bagaimana, dari arah yang berbeda pula... aaarrrghhh... stres saya...
Jadilah 2 atau 3 hari sebelum berangkat saya minum obat penunda haid. Berhasil? Tidak! Saya sudah mulai merasakan gejalanya; perut begah, gampang emosional dan makan banyak (hehehe, kalau ini sih, tiap hari sebenarnya). Dan betul dong, akhirnya datang juga... hiks. Menurut teman saya, obat itu seharusnya diminum minimal seminggu sebelum perkiraan datangnya periode saya, tetapi saya minumnya telat, jadi obatnya tidak mempan...

Di antara semuanya, cuma saya yang dapat, teman-teman lainnya aman-aman saja. Jadilah saya ngawur, namanya juga usaha, masa saya yang mengajak mereka ke Pulau Komodo malah justru saya yang tidak bisa melihat Komodo?. Jadi saya tetap minum obat tersebut pada malam sebelum ke Pulau Komodo. Memang sih, jadinya tidak sebanyak seharusnya. Tapi ingin tahu tahu efek sampingnya seperti apa? Perut begah luar biasa, yang seharusnya keluar seperti tertahan di dalam. Sekitar pukul 2 atau 3 dinihari saya tiba-tiba terbangun karena mual hebat dan akhirnya jackpot... Oh tidaaaakkk, ini semua demi Si Komo weleh...weleh...

  
Singkat kata, akhirnya keesokan harinya saya diijinkan Ranger untuk ikut trekking (asyiiikkk) walaupun saya musti cemas-cemas sedap dan minta dekat-dekat melulu dengan Ranger (manja deh saya) hahahaha... Akhirnya saya bisa bertemu Komodo dan tetap aman, selamat, sehat, sentosa... Senang banget pokoknya! :)
Foto bareng Bapak-Bapak Petugas Pulau Komodo yang ramah...


Yang berbaju biru adalah Ranger di Pulau Komodo dan yang posenya kelihatan takut itu sayaaaaa... hahahaha

 Jadiiii, tips untuk Mbak-Mbak atau Ibu-Ibu yang mau ke Pulau Komodo; tak perlu kuatir!. Anda bisa mengantisipasi dengan memilih jadwal berkunjung di luar periode Anda. Atau kalaupun kasusnya seperti saya, berkonsultasilah dengan Ranger, patuhi setiap perkataan Ranger dan selalu berada dekat-dekat Ranger. Saya tidak menyarankan Anda untuk minum obat penunda haid seperti saya.

Kami bertujuh di atas bukit di Pulau Rinca... :)
Yang lucu adalah, saya selamat di Pulau Komodo dan Rinca, tapi 2 buah Iphone saya (satu jadul, satu baru beli 5 bulan huhuuhuuu...) tidak selamat di Pulau Kanawa, plus saya digigit kucing saya sendiri setiba saya di kost, saya mendapat total 6 jahitan di kedua jari tangan kanan saya gara-gara menolong kucing saya yang kakinya terjepit teralis jendela!. Tidaaaaakkkk.... :’(

*Foto-foto courtesy Siti Kurniyawati. Thanks genkgong :).

Selasa, 03 Februari 2015

Mudahnya Bikin e-Passport!



Bulan September tahun 2015 ini passport saya habis masa berlakunya, jadi sejak jauh-jauh hari saya bertekad ganti dengan e-Passport dengan 3 nama. Siapa tahu bisa ke Jepang (bebas visa) dan bisa Umroh juga... Amiiiinnn :). Sejak bikin passport pertama kali, saya selalu mengurus sendiri, jadi saat pengen ganti e-Passport ini saya juga bertekad untuk mengurus sendiri.

Awalnya saya berniat mengajukan permohonan penggantian passport secara online, melakukan pembayaran di teller BNI, baru selanjutnya datang ke Kantor Imigrasi hanya untuk menyerahkan dokumen, foto dan wawancara. Pengajuan secara online sudah berhasil saya lakukan dan saya sudah mendapatkan email mengenai pengajuan tersebut, tetapi saya baru sadar bahwa itu untuk pengajuan passport biasa, bukan elektronik. Jadi saya berusaha mengisi lagi formulir pengajuan online, namun ternyata tidak ada pilihan “e-passport 48 halaman”, sehingga akhirnya saya memutuskan untuk datang sendiri ke Kantor Imigrasi. Oya, tidak semua Kantor Imigrasi melayani pembuatan e-Passport, untuk DKI, Kantor Imigrasi yang melayani e-Passport hanya Kantor Imigrasi Kelas I Khusus, sedangkan untuk di luar DKI antara lain ada di Surabaya dan Batam, silahkan cek di website Imigrasi untuk informasi lebih lengkap mengenai hal ini.

Jadilah saya ke Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Jakarta Selatan yang ada di Warung Buncit, Mampang. Niat datang pagi-pagi kesana gagal karena hujan di pagi hari yang bikin males banget bangun hehehehe... Jadi, akhirnya setelah bermacet-macet ria, saya sampai sana hampir pukul setengah 11 siang! Oleh Security, saya dikasih tahu : “Cepat Mbak ke Lantai 2 untuk ambil antrian karena sebentar lagi sudah habis!”. Entah si Bapak Security ini lebay atau tidak, yang jelas saya lari-lari ke atas, ke Bagian Pengambilan Nomor Antrian, saya ditanyai mengenai kelengkapan dokumen, selanjutnya diberikan Formulir yang harus diisi dan nomor antrian. Saya dapat nomor antrian 2-139, dimana saat itu yang diproses baru sampai nomor 2-050 an. Untung saya sudah mengantisipasi dengan membawa banyak camilan dan juga majalah hahahaha...

Formulir pengajuan e-Passport

 Oya, sebelumnya saya sudah melengkapi semua dokumen yang diperlukan, yaitu :

  1. KTP asli dan fotocopy
  2. Kartu Keluarga asli dan fotocopy
  3. Akta Kelahiran/ Ijazah/ Surat Nikah asli dan fotocopy
  4. Passport lama (jika memiliki)
Jangan lupa semua dokumen yang difotocopy dalam ukuran kertas A4, untuk fotocopy KTP jangan dipotong ya.

Di lantai 2 ini, selain melayani pemohon walk-in, juga melayani pemohon yang sebelumnya mengajukan secara online. Di ruang tunggu disediakan beberapa layar yang menampilkan nomor antrian yang dipanggil dan nomor counter yang harus dituju. Ada 10 counter yang melayani. Berdasarkan pengamatan (hehehe...), untuk nomor antrian yang sudah dipanggil, prosesnya tidak terlalu lama. Tepat jam 12 siang, Petugas mengumumkan bahwa 8 counter akan diistirahatkan selama 1 jam, sedangkan 2 counter tetap melayani. Ok banget menurut saya :)

Akhirnya setelah menunggu hampir 4 jam (untungnya saya dapat teman ngobrol yang asyik, jadi majalah yang saya bawa malah tidak sempat dibaca), nomor saya dipanggil juga. Di masing-masing counter terdapat 2 meja dengan 2 orang petugas. Di meja petugas yang pertama, data kita akan diinput, seluruh dokumen kita akan diperiksa dan di-scan. Selanjutnya dokumen-dokumen tersebut diserahkan kepada petugas kedua. Di meja petugas kedua ini, kita akan diwawancarai singkat, difoto, scan sidik jari dan melakukan pembayaran. Oya, kita bisa melakukan pembayaran dengan kartu. Saat itu saya menggunakan debit BNI, sayangnya saya lupa tanya, apakah mereka juga menerima kartu dari bank lain. Selanjutnya kita akan diberikan tanda terima yang harus ditandatangani dan dipergunakan untuk pengambilan passport.

Oya, biaya pembuatan e-Passport 48 halaman adalah Rp. 655.000,-, sedangkan passport biasa 48 halaman Rp. 355.000,-. Ada juga passport biasa 24 halaman dengan harga yang lebih murah.

Jadiiiiiii, setelah menunggu hampir 4 jam, hanya diperlukan 12 menit saja untuk membuat e-Passport!. Ternyata bikinnya gampang dan tidak ribet sama sekali. E-Passport bisa diambil setelah 5 hari kerja, sedangkan passport biasa adalah 3 hari kerja. Cepat kan? :D

Oya ada beberapa tips nih, kalau kamu pengen bikin e-Passport :

  1. Datang lebih pagi lebih baik. Walaupun saat jam istirahat terdapat beberapa counter yang masih melayani, tapi kalau kamu datang lebih pagi kan bisa dapat giliran sebelum jam istirahat makan siang!
  2. Pakai baju yang rapi ya. Selain mau diwawancarai, kan ada sesi pemotretan juga dan bisa minta diulang kalau hasil foto pertama kurang ok hehehe, saya malah ditawarin mau diulang nggak, jadi walau sebenarnya hasil foto pertama sudah cukup tapi saya iseng minta difoto lagi hahaha...
  3. Kalau kamu pengen passport/e-passport dengan 3 nama (untuk Umroh/Haji), kamu harus mengisi formulir penambahan nama bermaterai. Formulir ini bisa diperoleh di koperasi Kanim dengan harga Rp. 8.000,- sudah termasuk materai.
  4. Kalau misalnya kamu awalnya mengajukan passport biasa, trus saat kamu dipanggil ke counter kamu berubah pikiran untuk bikin e-passport, ternyata bisa, asal sebelum melakukan pembayaran ya. Teman ngobrol saya yang mengajukan passport biasa ditawarin ganti jadi e-Passport.
  5. Kalau kamu pakai softlens, jangan lupa bawa cairan softlens dan tempatnya ya, karena harus dilepas pada saat difoto. Saya saat itu lupa bawa cairan maupun tempatnya, tapi Mbak Petugas di counter saya baik bangeeeeeeettttt ngambilin saya cairan softlens dan menggunakan 2 tutup botol air mineral sebagai tempatnya. Entahlah cairan softlens milik siapa, tapi saya rasa milik Kantor Imigrasi untuk mengantisipasi pemohon passport yang lupa macam saya ini hehehe... Karena nggak enak hati, saya sempat bilang ke Mbak Petugas : “Nggak apa-apa kok Mbak, saya lepas sebentar saja...”, tapi dia bilang : “Jangan, nanti matanya perih...” trus lari-lari ngambilin saya cairan softlens itu. Baik banget yaaa...
Dibandingkan saat saya pertama kali bikin passport dulu (di Kantor Imigrasi yang lain), pelayanan untuk pembuatan passport sekarang jauuuuuuuhhhh lebih baik, mudah dan cepat. Petugasnya juga baik dan ramah. Kita hanya perlu datang 2 kali saja, pada saat menyerahkan dokumen (plus wawancara dan foto), serta saat pengambilan. Itupun pengambilan bisa dilakukan oleh orang lain kalau kita tidak sempat. Kita bisa membeli formulir Surat Kuasa di Koperasi Kanim. Oya, jangan lupa passport yang lama diminta lagi ya saat kamu mengambil passport yang baru, kan bisa buat kenang-kenangan. 

Jadi, tunggu apalagi, ayo bikin e-Passport! :D

Passport lama saya (kiri) dan e-Passport baru (kanan). Sekilas sama (saya kira e-Passport berwarna biru seperti passport biasa yang baru), yang membedakan adalah tanda "chip" di bagian kanan bawah.